Udang Pemangsa Mayat

20 Juni 2015 14:13:51 Dibaca : 109
Udang pemakan mayat....
-
sumber gambar. wikipedia.org
Beberapa hari ini selera makanku semakin menjadi-jadi melihat makanan yang dihidangkan di meja. Saat jam makan tiba adalah menjadi hal yang sangat menggirahkan bagiku, betapa tidak hidangan itu lagi sangat menggirahkan, Sepiring udang dengan masih lengkap kepala dan juga ruas-ruas sungutnya....yang hanya dibakar sekedarnya, ditambah merica, kecap dan beberapa potong bawang bombay. Hidangan itu selalu terhidang tanpa pendamping atau pilihan lainnya. entah dari mana Trisna istriku mendapatkan udang-udang itu. Karena setiap kali aku menanyakannya hanya senyum hambar yang selalu berikan sebagai jawaban. Udang yang mengununing dan aroma yang khas itu membuat aku selalu ingat pada pantai yang sering  aku datangi. Pantai yang air lautnya bebas menyecap hingga di rawa-rawa yang tumbuh subur nangrove, dan pohon nyiur yang hanya berbuah pada musim kemarau. Disela-sela rawa-rawa itu terdapat ribuan bahkan mungkin jutaan udang yang besar dan kecil. Udang hitam yang capit-capitnya sangat tajam dan mampu bergerak cepat dengan buluh-buluh kaki sungutnya.
Udang-udang besar itu selalu muncul setiap aku hendak duduk di sela-sela batu karang atau pohon-pohon tumbang di sekitaran pantai itu. Udang-udang besar dengan bilah-bilah kaki dan capitnya yang sangat mengerikan. Merayap, menusuk dan membuat sasarannya lumpuh tanpa ampun. Setelahnya udang-udang itu selalu merayap menuju pantatku. Ketika aku biarkan ternyata udang-udang itu mampu menyobek celana Jeans yang aku kenakan, tanpa ampun capitnya hendak memakan kulitku. Bila saja aku biarkan sesaat saja. Aah....kenapa aku harus selalu bersembunyi di pantai ini,pantai yang jarang didatangi para nelayan, Pantai yang terletak di ujung pulau terbesar yang ada di negara kami. Kadang-kadang aku singgah di pantai itu sampai dua-tiga hari. Tak ada peralatan dan bekal berarti yang aku bawa. Karena aku bisa makan seadanya yang disedianya alam disana. dan meminum air pantai yang sedikit asin, asam dan amis. Seperti ysng telah aku lakukan pada sebeluh tahun yang lalu pada bulan kelima di tahun itu. Mungkin kedatanganku ke pantai itu sudah kali ke lima belas atau entah keberapa, aku tak pernah menghitungnya.
Bulan sedang purnama saat itu. Dengan menyewa sebuat sampan kecil di pelabuhan yang tak begitu ramai dan mengayuh sampan itu kira-kira 6 jam barulah aku bisa sampai di pantai ini. Hari sudah malam walau tak identik dengan gelap, karena purnama itu mampu menyinari hingga ke ujung-ujung bumi yang tersinggahi. Aku tambatkan tali sampan itu pada sebuah pohon yang sudah tua dan miring. Air laut bisa menyisir hingga ke ujung pantai. Ketika hendak aku nyalakan rokok untuk menghapus lelah. Disela-sela karang aku mendengar suara mendesis-desis, dan mematuk-matuk, padahal setahuku pantai ini aman dari ular pantai. Suaranya semakin membuat aku penasaran. Aku arahkan senter ke asal suara itu. Hampir tak percaya dengan apa yang aku lihat. Ada manusia yang tengah menjadi santapan udang-udang dan ular secara bersamaan, sepertinya ular dan udang udang itu sedang berebut daging manusia. Karena jarang yang tidak begitu jauh aku bisa mengenali manusia itu. Dia seorang wanita dengan rambutnya yang sebahu, walau daging tubuhnya sudah hampir habis disantap ular dan udang, namun wajahnya masih utuh. Hampir saja aku berteriak setelah mengenal wajah wanita malang itu. Dia Nyonya Keriting tetangga yang rumahnya persis terletak di depan gang rumahku.
Orang-orang biasa menyebutnya Nyonya Keriting, karena badannya yang kecil dan rambutnya yang keriting tidak sesuai dengan gaya hidup dan keinginannya yang serba tinggi, untuk ukuran kehidupan desa kami. Pakaian, sepatu serta perabotan rumah Nyonya Keriting serupa dengan milik orang-orang kaya di telivisi. Kami tidak mengetahui dari mana Nyonya Keriting itu bisa membeli barang-barang itu, yang kami tahu dia tinggal sendirian di rumah itu. Kadang-kadang sampai sebulan Nyonya Keriting menghilang pergi, entah kemana...dan pulang dengan membawa barang-barang mewahnya. Walaupun Nyonya Keriting hidup dalam kemewahan tidak demikian dengan anjingnya. Anjing kampung yang berbulu tipis putih itu sering terlihat kelaparan dan kudisan. Karena kasihan orang-orang sering dengan sengaja meletakkan sisa makanan di ujung pagar rumah agar anjing itu bisa memakannya. Nyonya Kecil jarang berinteraksi dengan tetangga sebelah-sebelah rumahnya. Hanya sesekali saja aku lihat Nyonya Keriting bercakap-cakap dengan orang yang diupah untuk bersih-bersih rumahnya. Menurut orang-orang yang pernah bergaul dengan Nyonya Keriting, omongannya selalu pedas, menyakitkan, sombong dan suka meremehkan orang lain. Kecuali dengan orang yang hendak dimintai tolong, entah untuk bersih-bersih rumahnya atau sekedar memasak masakan kesukaanya.
Beberapa kali aku melihat istriku, Trisna diundang Nyonya Keriting untuk masak. Trisna memang dikenal pandai memasak dan enak masakannya sehingga terkenal sebagai juru masak di desa kami. Trisna sering diundang untuk masak di tempat orang punya hajat, atau menerima pesanan masakan.
Tidak ketinggalan Nyonya Keriting juga sesekali menggunakan jasa Trisna bila dia sedang ada tamu menggundang teman-temannya yang orang kota. Menurut cerita orang-orang tamu-tamu Nyonya Keriting menyukai masakan Trisna, sehingga bila mereka hendak berkunjung ke rumah Nyonya Keriting pasti berpesan untuk dimasakkan aleh Trisna terlebih dahulu. Pada suatu hari, aku melihat Trisna sangat lelah dan ngedumel setelah pulang dari Nyonya Keriting. "Esok-esok....aku tidak akan lagi mau lagi masak di tempat Nyonya Keriting..".
"Kenapa .....bukannya dia pelangganmu....." timpalku meladeni kekesalannya.
"Tapi mulai sekarang aku tidak mau lagi....".
"Kenapa.....?".
"Bukannya..berterima kasih setiap kali habis masak....tapi celaan dan hinaan selalu dia lakukan..".
"Dasar.....gembrot masak asal-asalan...begitu yang selalu dikatakan setiap saya menagih uang imbalan masak bila hendak pulang ". Kali ini aku lihat Trisna begitu geram dan gemas dengan hinaan dan cacian Nyonya Keriting.
Sejak saat itu aku tidak pernah melihat lagi istriku ke rumah Nyonya Keriting. Walaupun beberapa kali di rumah Nyonya Keriting ada acara dengan kedatangan orang-orang kota.
Dan seperti biasa beberapa hari kemudian rumah Nyonya Keriting sunyi senyap, kami pun tak ada yang menanyakan, karena kebiasaannya memang begitu.
         @@@@@
Trisna beberapa hari memang kelihatan sibuk, tapi entah apa yang dilakukan aku kurang begitu memperhatikan, karena selain aku juga sudah sibuk dengan pekerjaanku sendiri sebagai seorang yang bekerja di Pabrik Rokok, aku juga mulai menulis lepas untuk beberapa koran terbitan daerah.
Namun yang aku rasa agak aneh, kenapa Trisna beberapa hari ini suka sekali masak di rumah untukku, dan masakannya selalu berasal dari udang yang cukup besar. Sampai hampi seminggu ini, pagi siang dan malam, entah dari mana udang itu, kalau membeli pasti mahal sekali, begitu aku membatin.
Sampai saatnya aku berkunjung ke pantai ini. Pantai yang biasa aku kunjungi disaat ingin benar-benar menghayati keheningan.
Dan malam ini aku melihat dengan mataku sendiri, bagaimana udang-udang itu telah mendapatkan makanan dari tubuh Nyonya Keriting yang sudah hampir habis daging tubuhnya. Hanya wajahnya yang masih utuh sehingga mudah untuk dikenali.
Melihat kejadian itu, aku mengurungkan niatku untuk beberapa hari menikmati pantai dan diam disana. Aku segera kembali ke sampan yang telah tertambat di pohon kering itu. Namun keinginan untuk pulang segera urung karena dari kejauhan aku mendengar ada suara bunyi mesin sampan kecil yang hendak menuju kesini.
Sampan yang aku bawa segera aku sembunyikan di balik rerimbunan pohon nipah yang tumbuh subur di sepanjang pantai ini. Dari sana aku bisa mengamati dan melihat dengan jelas siapa yang hendak datang kesini dan apa kaitannya dengan mayat Nyonya Keriting itu.
Betapa terkejutnya aku......karena ternyata yang datang adalah Trisna, istriku. Untuk apa dia datang kemari, apa dia membuntuti aku dan hendak menyusul aku. Beribu pertanyaan menyelimuti otakku.
Tak berapa lama setelah menambatkan sampannya Trisna berjalan menuju mayang Nyonya Keriting. Dan apa yang dilakukannya, ternyata Trisna memunguti Udang-udang itu untuk dimasukkan ke dalam ember yang telah disiapkannya. Aku melihat Trisna melakukannya tanpa rasa takut dan jijik, bahkan Trisna juga memunguti udang-udang yang masih menempel di mayat Nyonya Keriting. Tanpa rasa jijik dan takut.
Aku tetap bersembunyi di balik pohon-pohon nipah ini. Untung Trisna tidak mengetahui keberadaanku, jadi aku lebih leluasa mengamatinya. Aku benar-benar tidak menyangka Trisna istriku yang dulu aku kenal lemah lembut ternyata sangat pemberani seperti itu.
Aku merasa ingin muntah melihat itu semua, karena ternyata udang-udang yang disajikan padaku tiap harinya adalah udang yang telah memakan daging tubuh nyonya Keriting. Untunglah aku bisa menahan muntahku yang tentu akan mengeluarkan suara, sampai Trisna benar benar selesai memanen udang-udangnya dan pergi bersama sampannya. Setelah suara mesin sampan benar-benar menjauh aku baru keluar dari persembunyianku.
Siapa sebenarnya telah membunuh Nyonya Keriting, dan menjadikannya sebagai makanan udang-udang pantai itu. Hatiku gamang apa yang hendak aku lakukan, apakah aku harus melapor pada polisi ataukah aku menanyai Trisna dulu agar dia membuat pengakuan padaku dulu, apa sebenarnya yang telah dilakukannya terhadap Nyonya Keriting.
Siang itu aku sudah sampai di rumah , dan bersikap seperti biasa seolah-olah tidak mengetahui apa yang telah dilakukan Trisna. Aku melihat Trisna sedang sibuk di dapur untuk memasak.
Ketika saat aku sudah berada di depan meja makan aku melihat udang-udang itu telah disajikan dengan begitu menawannya, kepalaku langsung pusing, mual dan bau udang yang telah dicampur merica , bawang putih itu hampir membuatku pinsang.
"Trisna.......cepat sini...."
"Silahkan makan sendiri udang-udangmu itu..."
Aku segera ngeloyor ke ruang tengah dan menelpon polisi.



Kudus, 20 Juni 2015, Sabtu : 14.00
Salam Fiksi
Dinda Pertiwi

Komentar

  1. good post mbak, luar biasa tulisan ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Pak Surya..hadirnya disini..maaf telat balas..nih..abis jarang dibuka...sih

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenang Menara Tetap Setegar Menara Kudus dalam Menghadapi Pandemi

Sidomukti' Istana terakhir Sang Mandor Klungsu / Joko Pring / RMP. Sosrokartono

Misteri Arah Rumah Kontrakan Kami