"Mengunyah Rindu" Sebuah Fakta Dalam Novel Karya Budi Maryono
“ Aku? Sering memendam, bahkan membunuh rindu itu
tapi selalu gagal! Saat makan bersama di rumah atau di luar tanpa Tia,
diam-diam rindu menjalar. Ketika Entik, Biru, atau Gigih mengatakan, “ Kalau
ada Mbak Tia, tambah seru nih!” aku pasti mengunyah rindu yang rasanya tak
keruan. Ketika Tia kirim SMS tanya-tanya soal berita politik, soal film, atau
soal buku…aku menjawab seperlunya, mungkin datar, padahal di hati rindu
bergetaran. “ ( halaman 391 ).
Novel “ Mengunyah Rindu” adalah sebuah catatan
harian seorang bapak dalam hal ini penulisnya ( Budi Maryono) tentang
kejadian-kejadian sehari-hari yang dialami bersama anak-anaknya, yaitu Tia,
Biru dan Gigih juga istrinya Entik. Rangkaian kejadian-kejadian itu diceritakan
dengan gaya yang sederhana, bersahaja namun sarat makna.
“ Mengunyah Rindu” Menggambarkan kecintaan seorang bapak terhadap
anak-anak dan istrinya yang kadang sulit untuk diucapkan namun semua itu harus
dikunyah sendiri. Kerinduan untuk bisa membahagiakan anak dan istri secara utuh
sering terhalangi karena masalah finansial, namun bukan berarti tak ada cara
untuk menjadi bahagia, walaupun dengan cara yang lebih sederhana. Keinginan
untuk memenuhi harapan anak-anaknya harus diolah/ dikunyah sendiri oleh Sang
Bapak agar kelihatan natural dan anak-anak tidak merasakan kepahitan yang
dirasakan batin Bapak dan Entik ( ibu) , sambil memberikan pelajaran kehidupan
kepada anak-anaknya.
“Mengunyah Rindu” ditulis oleh Budi Maryono yang
lahir di Semarang, 26 September 1965 merupakan alumni dari Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro Semarang. Novel “ Mengunyah Rindu” ini diterbitkan oleh
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta dan diterbitkan pertama kali pada bulan
Februari 2016. Cover oleh Orkha creative, editor Rosi L Simanora dan Nonera
Kresnawati, editor Gramedia dengan tebal 416 halaman; 20 cm. Dengan harga jual
Rp 90.000,- bisa didapatkan di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia.
Sudut Pandang (POV)
Penulis menggunakan Sudut Pandang (POV) orang pertama. Karena novel ini merupakan
catatan harian dari sang Penulis sendiri yang berperan sebagai seorang bapak
dalam keluarganya.
Penulis menceriterakan sendiri peristiwa-peristiwa
yang dialaminya, dari masa pembentukan keluarganya sampai hal-hal yang dijalani
bersama istri dan anak-anaknya. Penulis juga menceritakan hal apa yang
melatarbelangi dia melakukakan sesuatu demikian terhadap anak-anaknya.
Dengan menggunakan POV orang pertama, penulis hanya
bisa menceritakan hal-hal yang dialami dan dirasakan saja, dia bisa
menceritakan apa yang dirasakan oleh tokoh –tokoh lain dalam memaknai suatu
peristiwa walaupu tokoh-tokoh itu anak-anak dan istrinya sendiri.
Seperti dalam adegan berikut :
“ Oooh…anak gadisku. Keluar kamar dengan mata
sembap, malas makan, dan enggan cerita kenapa. Dia sudah punya persoalan di
luar rumah. Dia sudah punya rahasia. Dia sedang berusaha dan belajar mengatasi
luka entah karena apa itu-sendiri.
Ingin benar aku memeluknya. “ ( halaman 225 ).
Disini penulis hanya menceritakan hal-hal secara
fisik yang dilihatnya saja, tertapi tidak menceriterakan perasaan apa yang
sedang dialami oleh anaknya, Tia.
Penulis bisa menceritakan perasaan yang dialami
tokoh lainnya bila tokoh tersebut menceriatakan perasaan itu kepadanya, seperti
yang terjadi dalam adegan halaman 262.
“ Malam saat bercengkrama sebelum tidur, Entik
bercerita, “ Tadi pas ketemu Acha. Ibuk deg-degan lho, Pak. Embuh napa, rasane
kayak ketiban durian runtuh. Rasane…ya degdegan gitu.”
Aku tertawa. Empati-yang –sangat telah membuat Entik
merasakan apa yang (mungkin) biru rasakan. Aku tidak? Oho…pada Entik aku
bilang, “Bapak nggak deg-degan blas. Tapi begitu lihat Acha, tiba-tiba timbul
perasaan setuju. Hahaha!”
Kalau sedang kurang kerjaan, orangtua ternyata lucu
juga,” ( halaman 262-263).
Tohoh
dan Peratakan dalam “ Mengunyah Rindu “
Tokoh-tokoh dalam novel ini adalah penulis itu
sendiri ( Budi Maryono) sebagai pencerita, Septiwati Masruroh atau disapa Entik
sebagai istri dari Budi Maryono, serta putra-putri mereka berdua, yaitu : Mutiara
Relung Sukma ( Tia) , Bilal Semangat Istiqal ( Biru), dan Si bungsu Gigih Arung
Bumi ( Gigih). Mereka berlimalah yang menjadi tokoh utama dalam rangkaian
cerita keseharian dalam rumah-tangganya.
Dari para tokoh utama inilah sebuah cerita dilahirkan,
kecintaan dan rasa tanggung-jawab seorang bapak terhadap keluarganya yang
menimbulkan kerinduan yang dalam untuk selalu membahagiakannya, dan selalu ada
bersama–sama walau tidak bisa secara fisik namun secara hati pula.
Sedang tokoh-tokoh lain hanya sebagai penunjang
cerita saja, yang berhubungan dengan tokoh-tokoh utama. Seperti Mbah Fatimah, mertua dari penulis, Pakde Ari,
Lik Oyim, serta saudara-saudara mereka dan teman-teman sekantor dan sesama
penulis lainnya.
Demikian juga tokoh-tokoh yang muncul karena
peristiwa yang dialami oleh tokoh utama, seperti guru dan teman-teman Tia dan
Biru , dan juga para tetangga mereka.
Perwatakan dalam novel ini tidak ada yang mengalami
watak secara frontal, seperti Protagonis dan Antagonis. Walaupun para tokoh
mempunyai ciri khas watak masing-masing namun masih dalam batas kewajaran
manusia yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.
Seperti watak penulis, sebagai bapak yang
bertanggung-jawab, romantis, tegas dan tidak tegaan.
“ Capek ya capek. Terkadang, terus terang, jengkel
juga. Tapi begitu Gigih pulas dengan wajah sungai bening tanpa riak ataupun
gelombang, kerja keras dan rasa capek itu mendapat pahala yang kauh lebih besar.
Tidak. Bohong kalau aku bilang rasa capek itu hilang begitu saja. Yang benar :
aku tetap capek, tetapi jiwa ini terasa lebih tentram. Dan sebagai bapak, di
luar begitu banyak kekeurangan yang kupunya, saat melihat Gigih bangun dari
tidur dengan wajah bersinar cerah, aku merasa bermakna “ ( halaman 73 ).
Entik, sebagai ibu yang sangat lemah lembut dan
sangat menintai anak-anak dan suaminya, juga sebagai wanita yang nerimo apa
yang telah digariskan Allah kepadanya. Sangat perhatian kepada yang kecil-kecil
terhadap anak-anaknya.
Tia, sebagai sulung dalam keluarga itu tumbuh
sebagai gadis yang cantik dan bertanggung –jawab serta sayang kepada
adik-adiknya. Menghormati dan sayang kepada ibu-bapaknya. Tia telah diajarkan
terbuka untuk menceriterakan hal-hal yang dialami kepada ibu atau bapaknya,
namun rupanya Tia lebih dekat kepada bapaknya. Tia yang kelihatannya tidak
memperhatikan bila sedang diajak bicara bapaknya, namun ternyata dia
memperhatikan dan memahami apa yang telah dinasehatkan bapaknya.
“ Tia menyimak sambil menualangkan mata ke
mana-mana. Itu kebiasaannya. Sejak kecil dikeramaian, dia selalu tertarik
mengamati tingkah laku orang. Kadang-kadang aku kesal karena merasa tak
diperhatikan. Tapi nyatanya dia tetap menyimak. “ ( halaman 176 ).
Biru, sebagai anak kedua yang masih berumur 8 tahun,
Namun Biru mempunyai sifat tegas, kreatif dan banyak bertanya, banyak
keinginantahunya sehingga penulis dan Entik harus menceriterakan dengan jelas
apa yang tanyakan Biru. Seperti pertanyaan Biru
“ Pak, yang bikin orang Kristen itu apa sih?” Bapak dan Entik harus bisa
memberikan jawaban yang bisa diterima akal dan tidak menimbulkan pertentangan
dalam batin Biru.
Gigih, sesuai namanya dia anak yang sangat Gigih
kemauannya. Sehingga susah minum obat disaaat sakit , agak lama saat disapih.
Gigih seorang anak yang mempunyai kemauan keras dan gigih mempertahankan
pendapatnya.. Sehingga Bapak dan Ibuk harus bersabar dan memberikan pengertian
sedikit demi sedikit agar mudah diterima Gigih.
Alur
Dalam “ Mengunyah Rindu”
Karena Mengunyah Rindu adalah sebuah catatan harian
seorang bapak, maka alur yang digunakan adalah alur maju. Hal ini ditandai
dengan pemberian tanggal lengkap dalam setiap episodenya.
Kejadian-kejadian yang ditulis oleh penulis semua
terangkum dalam catatan yang telah dikelompokkan dalam peristiwa dalam setahun,
yaitu antara tahun 2005 sampai dengan 2010.
Tahun 2005 ada 11 episode.
Tahun 2006 ada 28 episode.
Tahun 2007 ada 27 episode.
Tahun 2008 ada 26 episode.
Tahun 2009 ada 20 episode.
Tahun 2010 ada 12 episode.
Walaupun menggunakan alur maju tetapi di dalamnya
terdapat juga peristiwa-peristiwa yang ternjadi di masa lalu, seperti
menceriterakan tentang saat penulis masih kecil, masih sekolah, juga mengenang
saat mereka berdua menikah. Karena pada dasarnya rangkaian cerita masa lalu lah
yang mendasari penulis memperlakukan anak-anaknya seperti itu. Penulis ingin
membahagiakan keluarganya walau itu tak sepenuhnya soal materi saja.
Gaya
Penulis Dalam Menuturkan “ Mengunyah Rindu”
Penulis novel “ Mengunyah Rindu” menceritakan dengan
gaya penuturan yang sederhana yang berlaku dalam keseharian dan kebersahajaan
hidupnya.
Sebagai seorang penulis fiksi yang merupakan jebolan
Fakultas Sastra Undip , penulis pandai menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
dan diterima berbagai kalangan.
Karena latar-belakang penulis sebagai keluarga yang
hidup di Jawa , dalam catatan hariannya tentu penulis banyak menggunakan bahasa
Jawa pula, yang dirasakan dapat pas tepat mewakili apa yang dirasakan dan
dipikirkannya.
Bahasa keseharian bahkan bahasa yang biasa digunakan
oleh anak-anaknya juga ditulis dengan lugas, sehingga novel “ Mengunyah Rindu”
ini mudah diterima dan dipahami oleh pembaca dari kalangan manapun juga.
“ Aku sangat ingin mandi, namun setelah berganti
celana pendek aku merasa lebih amat sangat ingin rebahan di lantai –ini
kebiasaan sejak kecil. Kebetulan Entik duduk disitu, maka kian kuatlah
keinginanku: badan rebah di lantai, kepala kusurukkan ke pangkuannya. Adem.
Biru yang
sedang nonton TV , mungkin capek duduk, eh…rebah juga dan meletakkan kepala di
pangkuan ibunya. Jadilah kami berbagi. Aku di paha kanan, Biru di paha kiri.
Entah bagaimana mulanya, Gigih turut serta. Bedanya, dia sandarkan seluruh
tubuh ke punggung ibunya. Saat itulah Entik nyeletuk, “ Ya Allah, piye to
iki,lanang telu kok nglendhot kabeh…” Lalu tertawalah dia “ ( halaman 273).
Walaupun begitu penulis tetap memberikan catatan
kaki pada bahasa Jawa yang diucapkan oleh tokohnya. Agar pembaca yang ukan
orang Jawa mengerti maksudnya.
Romantisme penulis dalam membuat catatan ini,
terlihat dalam Episode yang bertanggal Selasa, 16 September 2008. Penulis
memberikan puisi sebagai hadiah ulang tahun pada kedua perempuannya, yaitu
Entik istrinya dan Tia, anak sulungnya.
Puisi yang berjudul : Untuk Dua Perempuanku. Sebuah
puisi yang romantic sekali untuk Entik :
“ atau kugambari saja pipimu
Agar pelangi
hadir tanpa hujan
dan purnama
sesempurna tanpa malam? “
Sebuah lagi puisi untuk Tia, sulungnya :
“ Maukah kubungkuskan lima belas bintang
dari
sudut-sudut tergelap langit malam
agar matamu
tak putus berbinar
lalu nelayan
membacamu sebagai panduan? “
Latar Tempat Terjadinya Peristiwa
Latar tempat ternjadinya peristiwa terutama adalah
rumah penulis atau tokoh utama itu sendiri yang berada di kawasan sebuah
perumahan di Semarang, Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang , Komunitas Belajar
Qaryah Thayyibah Ungaran, Masjid Baiturahman Simpang Lima Semarang, Kantor
Suara Merdeka tempat Budi Maryono bekerja, dan juga tempat penjual
makanan-makanan langganan keluarga penulis.
Atau tempat dimana saja para tokoh berada dan
melahirkan suatu rangkaian cerita dalam kehidupan mereka.
Penulis sering mengambarkan bahwa tempat-tempat
itulah penulis dan keluarganya mengalami dan suatu peristiwa yang bisa menambah
kekayaan batin dan kecintaan dan keakrapan antar tokoh dalam sebuah keluarga.
Sinopsis “ Mengunyah Rindu “
Budi Maryono dan Septiwati Masruroh adalah teman
seleting dan sejurusan di Fakultas Sastra Undip, mereka berpacaran dan menikah
dengan cara yang sangat sederhana.
Septi atau Entik mau menerima Budi apa adanya yang
mempunyai profesi sebagai seorang penulis. Pada awalnya Budi bekerja di sebuah
Koran Jawa Tengah, namun akhirnya Budi resign dan menjadi penulis lepas.
Budi dan Entik dikarunia tiga orang putra, yaitu :
Tia, Biru dan Gigih. Dari keluarga dan ketiga putranya itulah Budi membuat
catatan harian yang akhirnya diterbitkan menjadi novel “ Mengunyah Rindu” ini.
Diceritakan bagaimana mobil mereka yang Fiat
1963/1300 yang sering mogok , dan panas karena tidak ber AC , sehingga Biru
mengatakan “ AC-nya digedein Pak “ untuk mengatakan agar mobil agak kencang
sedikit biar banyak angin yang masuk jadi tidak panas.
Walaupun begitu, mobil Fiat bisa mengantarkan mereka
sampai Gresik, maupun ke Tegal saat Mbah
Fatimah mertuanya meninggal.
Bagaimana pergolakan batin seorang Bapak ketika
anaknya bersedih karena tidak diterima di sekolah yang diinginkan, bukan
peristiwa tidak diterimanya yang bikin sedih, namun kesedihan yang dialami Tia
yang membikin bapak menjadi sedih.
Kesedihan juga dialami saat Gigih lahir, karena
sampai selapan atau 35 hari belum bisa mengadakan syukuran dan memberi nama
pada bayi yang baru lahir, sampai akhirnya bapak mendapat royalty buku untuk
digunakan membeli 2 ekor kambing, dan memberi nama pada anaknya.
Diceriterakan pula, bagaimana memilih sekolah untuk
Biru yang akhirnya jatuh pada Sekolah Alam Ar-Ridho, perkembangan Biru menjadi
anak yang cerdas, kreatif dan kritis terhadap hal-hal yang diluar pemahamannya.
Tia yang meluai tumbuh menjadi gadis remaja sejak
mendapatkan haid pertama, harus diberi pengarahan agar bisa bergaul di luar
dengan benar. Sampai akhirnya Tia memilih belajar di Komunitas Belajar Qaryah
Thayyibah, Kalibening, Salatiga daripada sekolah formal di SMA.
Saat Tia berada di Salatiga itulah, masing-masih
harus dapat mengelola rindu, agar berjalan dengan wajar. Rindu Bapak dan Ibu
kepada anak gadisnya, Rindu anak kepada bapak ibunya. Juga kepada adik-adiknya
demi untuk menuntut ilmu.
Kelemahan
Dari Novel “ Mengunyah Rindu”
Judul setiap
Episode ditulis dengan mecolok, besar sekali. Namun isinya kadang-kadang
hanya selembar setengah saja. Atau hanya menceriterakan hal yang sepele atau
kurang begitu penting.
Karena merupakan catatan harian maka, kadang antar
episode tidak berkaitan. Bila tidak dibaca secara keseluruhan.
Demikianlah resensi novel “ Mengunyah Rindu”
Karangan Budi Maryono.
Semoga bermanfaat bagi banyak keluarga di Indonesia.
Kudus, 15 January 2017
Salam hangatDinda Pertiwi
Komentar
Posting Komentar