Mantanku Seorang Demonstrans ll Cerpen



“ Bill…ini aku, konfirms ya!”
Begitu sepatah kata yang masuk di inbox FB ku. Aku segera mengeklik profil penginbox itu. Walaupun sebenarnya ada lasa deg! ketika membacanya. Karena aku ingat betul hanya dia yang memanggilku dengan sebutan “Bill!”.  Iya aku yakin itu pasti kamu, walaupun kamu tidak memakai nama aslimu di FB mu, tapi nama margamu tetap kau pakai. Jadi aku yakin itu kamu. Untuk benar-benar menyakinkannya aku mengeklik profil FB mu. Dari fotomu tak banyak yang berubah di wajahmu, rambut ikalmu dan juga lebat kumismu. Aku jadi benar-benar yakin kalau itu benar-benar kamu. Kekasih masa laluku, yang menghilang begitu saja.
Aku langsung menjelajahi beranda FB mu, “ syukur Alhamdulillah” ternyata kamu masih hidup dan segar bugar. Tak tampak kau hidup bersedih dan tak tampak pula kau hidup dalam kebahagian dari foto-foto dan status yang ada dalam FBmu kamu biasa saja. Kau masih seperti dulu postinganmu hanya berkutat soal politik, dan hal-hal yang berbau filosofi. Tak menampakkan kehidupanmu kesehariannya, sama sekali tak ada status lebay.
*****
Dua puluh lima tahun yang lalu saat aku tak melihatmu lagi, seribu tanda tanya menyelimutiku waktu itu. Antara cemas, rindu, takut dan marah bercampur jadi satu, aku tak tahu apa yang sedang terjadi terhadapmu. Engkau menghilang setelah menggelar demo di halaman kampus dalam perjalanan menuju gedung Perwakilan Rakyat bersama para demonstran lainnya. Menurut kabar yang aku terima demo itu dibubarkan aparat keamanan, dan beberapa dari peserta demo kena “ciduk”. Begitu kata teman-teman. Karena kurangnya keterbukaan pemberitaan waktu itu, berita tentang demo dan “pencidukan” sama sekali tak pernah muncul di media saat itu. Apakah kamu adalah salah satu peserta demo yang ikut kena “ciduk” atau bukan tak ada yang tahu. Yang aku tahu para aktifis yang ikut demo, tak lagi kelihatan di kampus. Termasuk kamu.
Kamu menghilang begitu saja, tanpa ada berita atau usaha darimu untuk menghubungiku. Itu yang membuatku selalu mencemaskanmu. Karena selama setahun kita menjalin hubungan kamu tidak suka menceriterakan sesuatu yang di luar hubungan kita. Apa kegiatanmu beserta teman-temanmu itu, aku hanya tahu kamu seorang aktifis yang sering kengkritisi kebijakan Pemernitah.
Iya ! setahun aku menjalin hubungan denganmu, sejak kau mengatakan.
“ Bill…aku mencintaimu, boleh kita pacaran”
Begitu kata-kata yang kau ucapkan setelah hampir lima bulan kita akrab sebagai teman kuliah saja. Engkau banyak membantuku menyelesaikan tugas-tugas akhirku, terutama saat aku kesulitan menerjemahkan literature-literatur yang masih menggunakan bahasa Inggris. Karena bahasa Inggrisku memang lemah, jadi aku butuh bantuanmu untuk menyelesaikan skripsiku. Walaupun kita bukan satu jurusan namun kita masih satu fakultas jadi aku mengenalmu di perpustakaan fakultas. Oh ya…kamu juga bukan teman seangkatanku tapi adik letting 2 tahun dariku. Tak ada rasa canggung walau kita beda umur, kamu sangat perhatian dan sayang padaku Bagiku itu sudah cukup membuatku nyaman jalan bareng denganmu.
Hubungan kita yang kadang sedih kadang bahagia membuat kita selalu bisa tertawa bersama,kita bisa saling menyemangati agar kuliah kita bisa segera selesai.Kamu rajin mengantar jemputku bila kau tidak sedang sibuk dengan kuliahmu dan segala macam kegiatanmu yang tak begitu aku mengerti.
“ Bill…maafkan aku bila sewaktu-waktu aku meninggalkanmu tanpa pamitan dulu ya…” katamu pada suatu saat kita sedang asyik menikmati makan siang bersama.
“Iya…kenapa begitu, apa tak ada waktu sekedar berpamitan bila mau pergi jauh atau lama…?”
“ Bisa saja keadaan sewaktu-waktu tidak memungkinkan Bill…begitulah kamu harus siap punya pacar seorang aktifis “ katamu tanpa menjelaskan alasan yang bisa aku terima.
Saat itu juga ada genangan air di pelupuk mataku, rasanya tak ingin “susuatu” terjadi pada kamu, pada hubungan kita saat itu sedang mekar-mekarnya.
Dan ketika saat kamu benar-benar hilang sampai akhirnya aku wisuda dan meninggalkan kota  Semarang tempat kita kuliah untuk mencari pekerjaan, kamu sudah benar-benar raib. Teman-temanmu juga tak ada yang memberikan jawaban yang pasti ketika kutanya “ Dimana engkau!”.
Akhirnya aku menyerah, aku tak lagi mengharap kedatanganmu. Kesibukanku kerja dan bergaul dengan teman-teman baruku, membuatku harus melupakanmu. Walaupun engkau masih tetap ada jauh di lubuk hatiku, karena kamulah cinta pertamaku.
Seorang pemuda dari pergaulan kerja akhirnya mengisi kekosongan jiwaku. Kami akhirnya menikah, dan mempunyai 2 orang putra sebelum akhirnya suamiku ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain. Perceraianpun terjadi, kedua anakku ikut aku. Bersyukur karirku lancar, sehingga tak ada masalah dengan biaya hidup dan biaya sekolah anak-anakku. Walaupun mantan suamiku tak pernah lagi memberi nafkah pada anak-anaknya. Aku juga tak tertarik lagi untuk menikah setelah hampir sepuluh tahun menjanda.
Apalagi putra pertamaku kini sudah bekerja setelah menyelesaikan kuliahnya di fakultas Teknik Sipil, bahkan tak lama lagi aku akan mempunyai menantu, karena Bayu anak pertamaku sudah mempunyai calon pendamping hidup yang cocok. Sedangkan Andrey putra keduaku juga tinggal menyelesaikan skripsinya di fakultas Ekonomi.
Jadi untuk apa aku memikirkan menikah lagi.
Masa-masa tersulit dalam hidupku sudah kulampoi, kini aku tinggal menikmati masa tua, dengan bekerja tanpa “nggoyo” dan aktif dibeberapa komunitas yang sesuai dengan hobbyku menulis dan menulis fiksi.
*****

Dari inbox itulah aku akhirnya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kamu. Kamu ceriterakan semua tentang kepergianmu yang menghilang begitu saja. Ternyata kamu sempat ditahan 2 tahun dengan tuduhan makar pada pemerintah waktu itu.
Keluar dari penjara kamu sempatkan datang lagi ke Semarang, kota tempat kita kuliah. Setelah itu kamu pulang ke orangtuanya di Jakarta, bekerja dan menikah dengan kerabat dari ibumu. Menurut kamu, saat keluar dari penjara kamu sempat datang ke Semarang untuk mencariku, namun sayang aku juga sudah tidak berada di kota itu lagi. Jadi kamu tidak menemukan informasi apa-apa tentang aku, sama seperti aku yang juga tak menemukan informasi apa-apa tentang kamu
*****.
“Aku sekarang duda Bill, istriku meninggal saat melahirkan si bungsu…” begitu katamu, saat kau melihat foto-fotoku bersama anak-anakku.
“Mana suamimu, kok semua foto-fotomu tak nampak ada suamimu?” pertanyaan yang malas aku jawab.
Walaupun sudah sering inbox di FB tetapi aku memang tidak suka menceritakan tentang keadaan keluargaku. Sampai saat kamu menceriterakan soal anak-anak dan istrimu yang telah wafat. Aku trenyuh juga melihat perjuanganmu membesarkan anak-anak yang masih kecil-kecil tanpa bantuan seorang istri. Untunglah anak-anakmu sekarang  sudah dewasa semua, hanya tinggal si bungsu yang masih duduk di bangku SMA katamu.
“ Jadi kamu ….” Kata-katamu kupotong sebelum kamu melanjutkannya.
“ Iya…aku janda..”
Lalu kami tertawa bersama, saling berbalas stiker yang lucu-lucu.
Sebenarnya benih-benih cinta dan rinduku pada kamu sudah mulai tumbuh kembali, seiring berjalannya waktu walaupun kami belum sempat bertemu darat , hanya lewat medsos saja.
Sampai saat menjelang pilkada ini dimulai .Entah sudah jiwamu atau memang apa ya….! Postingan kamu  tiap hari hanya soal jagoanmu saja, soal calon gubernurmu yang kamu sanjung-sanjungnya setinggi langit itu. Dan mengolok-olok lawan jagoanmu seolah-olah kamu pernah menjadi teman dan sahabatnya sehingga kamu tahu semua aib dan kekurangannya.
Lama-lama aku jenggah juga! Bukannya apa, tapi aku ingin menikmati masa tua dengan tenang, malas rasanya memikirkan hiruk pikuk perpolitikan yang runyam saat ini.
Postingan-postingan kamu  seolah-olah telah mengusik ketenangan wall FB ku, aku pernah menyindirnya di inbox tetapi tampaknya itu tidak bergeming. Bahkan semakin dekat dengan pelaksanaan Pilkada postingan-postingan kamu semakin nekad, tidak bisa membedakan lagi mana yang hoax mana yang asli.
Aku muak sekali.
Tanpa permisi dulu saat aku membersihkan frendlis FB ku, nama kamu ikut terhapus aku  tak peduli lagi padamu, seperti kamu juga tak peduli dengan teguranku. Rasa cinta dan rindu yang sempat tumbuh pun telah musnah lenyap.
Biarlah kamu hidup dengan duniamu, dan aku ingin menikmati masa tuaku dengan tenang.
Beberapa kali inboxmu tidak aku balas lagi, aku tak memberikan alasan apa-apa ketika kamu  protes kenapa aku menghapus pertemanan dengan kita di FB. Semoga kamu sadar sendiri, itu saja harapanku.
“Maafkan aku, apa tak bisa kita menjalin hubungan lagi denganmu!”, setelah berulangkali aku acuhkan, akhirnya aku jawab juga agar selesai tuntas hubungan antara aku dan kamu.
“ Sudahlah…dunia kita beda, biarkan aku tenang tanpa bayang-bayangmu lagi “
“ Tidak Bill….kamu adalah masa depanku, tak inginkah kau menua bersamaku?”
“ Maafkan aku, aku sudah menutup pintu hatiku untuk siapapun, termasuk terhadap kamu....”
Sejak saat itu, aku memblokir semua akses medsosku untuk kamu. Aku ingin menikmati kesendirianku seperti dulu lagi. Tanpamu dan tanpa laki-laki siapapun di hidupku.

Kudus,  February 22, 2017
‘Salam Fiksi’
Dinda Pertiwi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenang Menara Tetap Setegar Menara Kudus dalam Menghadapi Pandemi

Sidomukti' Istana terakhir Sang Mandor Klungsu / Joko Pring / RMP. Sosrokartono

Misteri Arah Rumah Kontrakan Kami