Mendulang Asa di Bumi Borneo /2/

BAB I.
Sofian sudah menyiapkan rumah kontrakan untuk anak istrinya, yang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja. Mereka menempati rumah kayu yang terletak di bibir sungai , bahkan di bawah rumah berupa air rawa-rawa. Sebuah rumah di kampung nelayan yang agak kumuh.  Gang-gang antar rumah berupa kayu yang sudah rusuh dan banyak lobang di sana sini. Bila tak hati-hati berjalan bisa terjebur di air rawa yang kotor dan penuh sampah.
Ayuk yang tidak biasa tinggal di kampung nelayan, walau agak kecewa karena rumah yang ada dalam bayangan dia adalah rumah berdinding seperti rumahnya di Jawa. Tapi tak apalah, yang penting harus bisa menyesuaikan lingkungan dahulu, terutama bahasa yang sekarang sangat berbeda dengan bahasa mereka sehari-hari di Jawa. Hal ini menjadikan Ayuk banyak diam saja sambil memperhatikan kawan-kawannya bertutur. Sedikit demi sedikit Ayuk mulai memahami bahasa teman-temannya, bahasa Banjar.
Ayuk sudah mendapatkan sekolah di sebuah SD yang tak jauh dari tempat mereka tinggal. Untung ibu guru di kelas banyak menggunakan bahasa Indonesia, sehingga Ayuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Lagi pula materi yang di ajarkan sudah pernah diajarkan di sekolahnya waktu di Jawa.
                                
Seminggu setelah mengenal lingkungan dan beberapa kali ke pasar terdekat, Imoeng mulai merencanakan apa yang akan ditempuh selanjutnya, agar kepindahannya ke Kalimantan tidak sia-sia belaka. Imoeng ingin jualan kecil-kecilan dulu, yang tidak butuh modal banyak dan kira-kira belum banyak dijual orang-orang di sekitarnya.
“ Pak…saya mau pinjam uang buat modal, besok saya mau ke pasar membeli peralatan untuk memasak, saya ingin jualan berbagai macam keripik, yang mudah, murah, dan mudah-mudah bisa diterima masyarakat di sekitar sini “ Ujar Imoeng pada suami pada sore itu, sepulang suaminya bekerja.
“ Iya..Buk…tapi janji hutang ya…harus hati-hati pakainya.”
“ Iya…Pak, saya janji akan mengembalikannya, bila semua telah berjalan lancar, saya ingin mengirim uang ke Jawa sedikit demi sedikit untuk melunasi hutang-hutangku, di sini aku tak akan mengulangi lagi kesalahanku yang dahulu. “
‘ Saya butuh 500 ribu saja Pak. Cukuplah untuk membeli peralatan menggoreng dan bahan-bahan membuat keripik. “ Jelas Imoeng pada suaminya tentang makanan apa yang hendak dijualnya.
“ Saya akan membuat rempeyek kacang tanah, kacang hijau, kedelai, dan ikan teri, sambil melihat mana yang akan banyak diminati masyarakat di sini. “
“ Ini ..Bu uangnya, hati-hati kalau ke pasar besok ya...”
“ Besok aku akan ke Tanjung mungkin menginap beberapa hari di sana, karena tugas dari boss “
Sofian bekerja di sebuah KSP atau Koperasi Simpan Pinjam, milik bosnya yang berasal dari Kudus juga. Sudah 5 tahun Sofian dipindahkan ke Kalimantan Selatan, untuk mengembangkan usaha KSP itu. Sejak di pegang oleh Sofian KSP itu maju pesat, sehingga hampir setiap daerah di Kalimantan Selatan membuka kantor cabangnya.  Sofian lambat laun menjadi orang kepercayaan bossnya. Sehingga Sofian sering berkeliling dari satu kota ke kota lain di wilayah Kalimantan Selatan.
 Setelah anak dan istrinya ikut ke Kalimantan Sofian sering pula meninggalkan anak istrinya untuk keperluan pekerjaannya. Hal ini menjadikan Imoeng mempunyai banyak waktu untuk berdagang dan mengembangkan dagangannya.
Tidak sampai dua bulan keripik dan rempeyeknya banyak diminati orang sehingga Imoeng harus menambah dagangannya.
Karena seringnya berhubungan dengan masyarakat Imoeng dan Ayuk sudah mulai fasih menggunakan bahasa Banjar sehingga membuat pergaulannya dengan masyarakat sekitar mulai akrab.
Yang menjadi masalah Imoeng tidak bisa menggunakan air sungai dekat rumah untuk keperluan MCK seperti para tetangganya. Sehingga ia harus menggambil air agak jauh dari rumah, dan membeli air isi ulang untuk keperluan memasak.


Seminggu suaminya pergi, pulang-pulang Imoeng mendapatkan hal yang aneh pada suaminya. Imoeng mendapati baju wanita bercampur dengan pakainan suaminya di tas pakaiannya.
Imoeng tidak berani menanyakan kecurigaan itu pada suaminya, ia membiarkan saja sampai suatu saat suaminya akan mengaku sendiri, kalau selama Imoeng belum ikut ke kaliamantan suaminya punya wanita lain.

Imoeng hanya penasaran siapa wanita kekasih dari suaminya itu.Untunglah Imoeng sudah mengenal beberapa teman suaminya yang sama-sama dari Kudus, sehingga dia bisa beratanya-tanya pada teman suaminya itu.

Akhirnya Imoeng mendapat informasi bahwa suaminya memang dekat dengan sesama karyawan yang berasal dari Kudus juga, Rina namanya.
Suatu sore sambail melipat baju yang tadinya berada dalam tas pakaian suaminya Imoeng bertanya pada suaminya.
“ Ini baju siapa Pak..”
“ Mana…oh itu baju teman yang tercampur waktu dicucikan di mess kali..”
“ Kalau bapak gak punya hubungan apa-apa kok bisa ya…baju ini masuk besama pakaian-pakaian bapak “ gunam Imoeng lirih, namun masih terdengar oleh suaminya.
“ Emang kenapa Bu…salah sendiri kamu bertahun-tahun tak mau aku ajak pindah ke sini “
“ Dan sekarang aku sudah di sini, kenapa bapak masih tega…melanjutkan hubungan itu..percuma aku jauh-jauh pindah ke sini Pak..”
“ Sudahlah Bu…gak usah mempersoalkan itu, yang penting di sini kamu harus focus mengumpulkan uang buat membayar hutang-hutangmu yang di Jawa..”
Seru Sofian mengalihkan permasalahannya. Imoeng hanya bisa memendam kecewa dan air mata, namun bagaimana pun ia harus kuat, karena sudah terlanjur melangkah di bumi Borneo apapun harus bisa diatasi sendiri.

Setelah itu Imoeng tak ingin memikirkan lagi apapun kelakuan suaminya. Dia hanya focus untuk membuat aneka makanan yang sekiranya bisa laku dijual di masyarakat sekitarnya. Yang penting baginya agar segera bisa pulang ke Kudus untuk menggambil anak bungsunya dan anaknya nomer 2 agar bisa kumpul bersama di Kalimantan semua. Selain itu setiap bulan sedikit demi sedikit dia bisa mengirim uang ke saudaranya yang di Kudus, untuk menyicil hutang-hutangna.
Keripik dan rempeyek buatan Imoeng sudah makin banyak dikenal orang, sehingga setiap hari dia harus menambah dagangannya. Ayuk juga rajin membantu ibunya setiap pulang sekolah. Untuk mengantarkan pesanan-pesanan ke toko dan warung di sekitarnya.
Imoeng yang cekatan melihat peluang yang besar untuk mengembangkan usahanya. Walaupun hanya berjualan keripik dan rempeyek namun hasilnya sangat bagus, sehingga Imoeng ingin mengembangkan usahanya dengan membuat toko sendiri.

Namun keinginannya itu tidak diijinkan oleh suaminya.
“ Sudahlah Bu…melayani pesanan-pesanan saja kita sudah kewalahan, buat apa membuka toko, karena mungkin tak lama lagi kita juga harus pindah “
“ Pindah kemana Pak…kalau pindah bagaimana dengan langgananku, nanti di tempat yang baru kita harus mulai lagi dari nol “
“ Belum tahu Bu…tergantung Bos, karena kantor cabang yang di Tanjung berkembang pesat dan membuuhkan perhatian khusus “

Maka tak lama setelah itu mereka benar-benar pindah ke kota Tanjung Tabalong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenang Menara Tetap Setegar Menara Kudus dalam Menghadapi Pandemi

Sidomukti' Istana terakhir Sang Mandor Klungsu / Joko Pring / RMP. Sosrokartono

Misteri Arah Rumah Kontrakan Kami